Cerpen ini hasil dari lomba tulis cerpen di unnes, lomba
dilaksanakan hari selasa 19 november 2013, kemarin. Peserta diberi waktu empat
jam dan tema cerpen ditentukan hari itu pula. “Aktualisasi nilai-nilai lokal
dan pendidikan karakter bangsa” itu temanya. Sangat ribet menurut saya, dan ini
hasil cerpennya. Silahkan dikritik.
“Kamu pengagum Bung Karno?”
“Iya.”
“Kenapa suka mabuk dan mengikuti gaya hidup orang barat?”
“Aku anak muda jaman sekarang.”
***
Jogja, 2014.
Aku sengaja tidak
masuk kuliah hari ini, untuk menengok Adi yang sudah seminggu juga tidak kelihatan
di kampus. Kukayuh sepeda dengan pelan, mengingat kondisi jalan Jogja yang
padat ketika pagi hari. Sesampainya disana, benar apa perkiraanku, dia belum
bangun dan seperti biasanya, sebotol bir dan beberapa putung rokok tergeletak
disamping ranjang. Kupandangi sekali lagi semua isi kamarnya, poster besar Bung
Karno tetap tertempel pada sebelah kanan ranjang, poster itu begitu berwibawa.
Bung Karno sedang berbicara dihadapan mikrofon, tangan kanannya mengacung ke
udara serta wajah garang macam pejuang yang kesetanan. Itulah idolanya,
Kugoyangkan kaki
Adi, tapi tetap tak mau bangun. Baru ketika kubuka jendela kamar dan sinar
matahri tepat mengenai wajahnya, mata belok dan alis yang meliuk indah bak
lengkungan pelangi itu terbuka.
“Sedang apa kamu, sepagi ini sudah masuk kamar orang tanpa salam?”
bahkan Adi langsung bertanya ketus ketika melihatku.
“Sepagi ini? Hah! Ini sudah jam sepuluh, cepat bangun dari kasurmu,
mandi,” jawabku kesal.
“Buat apa mandi,
nanti juga kotor lagi,” jawaban andalan yang selalu ia ucapkan ketika disuruh
mandi.
“Mau sampai kapan
kamu begini, mau kamu selesaikan kapan kuliahmu, jika berangkat pun tak
pernah?” tanyaku lagi.
Oke, hari ini aku
kalah denganya. Aku keluar dan mengambil sepeda yang kuletakkan di batang pohan
mangga. Sepanjang perjalanan, tanpa kusadari aku menangis. Bukan, bukan karena
aku diusirnya, tapi karena yang mengusir adalah orang yang sebulan lalu baru
kuterima menjadi pacar. Masih jelas diingatanku ketika Adi mengucapkan kalimat
itu, tidak seperti remaja lainya, dia mengucapkannya dengan gaya yang sangat
kusukai.
“Cinta pada pandangan pertama itu bodoh dan murahan, karena mata
tidak dicipta Tuhan untuk mampu melihat hati. Aku mencintaimu setelah pandangan
kedua dan seterusnya,” ucapnya yang membuatku tidak bisa mengucapkan ‘tidak’
hari itu.
***
Hari ini, sudah
kupersiapkan cara agar dia mau berangkat kuliah dan meninggalkan kebiasaan
buruknya, mabuk. Kukayuh lagi sepeda menuju rumah kontrakannya, berbekal
semangat dan sebungkus rokok ditangan.
Untuk kesekian kalinya, aku tidak heran melihat dia masih tertidur,
dan pintu kamar selalu tidak dikunci. Mungkin dia berpikir, kalau sewaktu-waktu
mati karena kebanyakan minum akan ada orang yang menemukan, setidaknya mayatnya
tidak terlalu lama dibiarkan dibumi.
Aku sudah berdiri tegak disamping ranjangnya, siap membuka jendela
agar sinar matahari membangunkannya. Ia benar-benar terbangun oleh ulahku,
tanpa ba-bi-bu-ba, aku langsung menyulut rokok dan menghisap didepannya.
Berharap dia iba, lalu menyuruhku mematikanya. Lalu dia berjanji untuk berubah.
Terkejtu? Sedikit pun tidak,
ia malah maminta rokokku utuk bergantian menghisapnya.
“Sejak kapan kamu merokok?” dia bertanya sambil menghisap rokokku.
“Sejak kamu berkata tidak menginginkanku untuk kemari lagi,”
jawabku sembari meraih rokok dari tangannya.
“Hemm,” ia hanya mengernyitkan bibir.
Hening beberapa saat, sampai aku tidak sadar aku hampir
menghabiskan satu batang rokok.
“Kenapa poster Bung Karno tetap tertempel di dinding kamarmu? Kamu
pengagum Bung Karno?” tanyaku memecah keheningan.
“Iya.”
“Kenapa suka mabuk
dan mengikuti gaya hidup orang barat?”
“Aku anak muda jaman sekarang.”
Dalam hati aku berkata, anak muda jaman sekarang pengagum Bung
Karno tetapi tidak pernah masuk kuliah malah mabuk-mabukkan. Kalau Bung Karno
tahu, mungkin dia akan ditamparnya.
“Kenapa, Kila? Aku tetap mencintaimu kok, masih sama seperti
sebulan lalu, aku mencintaimu setelah pandangan kedua dan seterusnya. Tapi
maaf, kalau kamu menyuruhku untuk berhenti mabuk, kamu bisa meninggalkanku saat
ini juga,” lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh ucapannya.
Tanpa berkata apa-apa aku menangis tapat disampingnya.
***
Aku sudah membawa
poster besar bertuliskan pancasila serta kelima isinya. Aku akan memberikan
pada pengagum Bung Karno hari ini. Seperti biasa dan selalu seperti itu, ia
masih tertidur dikasur yang tidak pernah ganti sprei.
“Proklamasi, kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17
agustus 1945.
Atas nama bangsa
Indonesia, Soekarno-Hatta.”
Aku membacakan naskah proklamasi keras-keras dikamar Adi, ia yang
kaget, hanya mendengarku sembari menyulut rokoknya.
“Itukah yang
pengagum Bung Karno lakukan? Hanya mabuk-mabukan, kuliah pun ditinggal?” ucapku
emosi.
“Hah! Jawab wahai
pengagum? Kamu hafal pancasila kan? Kalau pun tidak, ini aku bawakan. Dan pasti
tahu maknanya kan? Bung Karno pun menangis kalau tahu ada pengagumnya yang
seperti kamu,” tambahku emosi.
Tanpa kuduga, ia
bangun dari kasur dan langsung memelukku. Lalu mengucapkan kalimat yang
membuatku bangga menrimanya sebagai pacar.
“Kila, apalah aku
ini? Sehingga kamu peduli? Kamu rela meluangkan waktu hanya untuk membuatku
berubah. Maaf telah merepotkanmu, maaf aku bukan pribadi yang kamu inginkan.
Mau memberiku kesempatan?” bisiknya padaku.
“Sejak kamu
menyatakan rasa mu, saat itu juga aku yakin kamu bukan remaja biasa. Kamu
adalah Bung Karno ku,” jawabku yang membuatnya lebih erat memelukku.
“Dan mana ada
pengagum Bung Karno yang mengikuti gaya hidup orang barat? Bung Karno ya Bung
Karno, tetap denga budaya Indonesia yang luhur. Tidak peduli anak muda atau
tua, yang namanya orang Indonesia ya harus bangga dengan budaya sendiri,”
tambahku.
--the end—
t:
@fachriley
Komentar
Posting Komentar